Objek
wisata apa yang bisa ditawarkan Kabupaten Bojonegoro? Pertanyaan ini
selalu muncul ketika menyinggung dunia wisata di Kabupaten Bojonegoro.
Pasalnya, bicara potensi wisata di Jawa Timur, nama Bojonegoro seolah
tidak masuk dalam perhitungan. Kabupaten Probolinggo dengan Gunung
Bromo-nya, Bondowoso dengan Kawa Ijennya, Kabupaten Malang dengan Pantai
Ngliyep dan Banyuwangi dengan Pantai Klungkung selama ini seakan
menjadi primadona pariwisata di Jawa Timur.

Padahal
Bojonegoro yang dikenal berhawa panas lantaran kandungan tanah kapurnya
juga mempunyai objek wisata yang sebenarnya juga layak diperhitungkan
lantaran masuk sebagai keajaiban alami Objek wisata tersebut adalah
Kayangan Api. Lokasinya di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, atau
sekitar 25 km dari Kota Bojonegoro. Dibanding objek-objek wisata lainnya
yang dipunyai Kabupaten Bojonegoro, Kayangan Api yang paling bisa
diandalkan. Kayangan Api memang mempunyai keistimewaan, setidaknya jika
dibandingkan dengan objek-objek wisata lainnya di Jawa Timur, yaitu api
abadi atau api yang tak kunjung padam. Dari celah-celah tumpukan batu
menyembur api yang berwarna merah kekuning-kuningan, meliuk-liuk. Api
ini tidak pernah padam meski diterjang hujan lebat atau ditiup badai
sekencang apapun. Ditengarai api abadi ini terbesar se-Asia Tenggara.

Pada
PON XV, api obor disulut di Kayangan Api, kemudian dibawa lari secara
estafet ke GOR Delta Sidoarjo sebagai tempat dibukanya PON XV. Kayangan
Api berada di tengah hutan jati milik Perhutani. Untuk mencapainya
tidaklah mudah. Dari Jalan Raya Dander, wisatawan harus melalui jalan
seluas kira-kira lima meter. Bagi yang membawa kendaraan sendiri tidak
masalah, tetapi bagi wisatawan yang naik kendaraan umum harus berganti
dengan ojek. Dari Jalan Raya Dander ongkosnya Rp25.000/motor, atau
Rp25.000 dari terminal Bojonegoro.

Setelah
melewati perkampungan barulah masuk hutan jati. Jalanan yang sedikit
berkelok dengan kepungan pohon-pohon jati menimbulkan sensasi sendiri.
Sayangnya, sejumlah ruas jalan menuju Kayangan Api banyak yang rusak
lantaran kerap dilewati kendaraan-kendaraan berat pengeboran gas. Meski
berada di tengah hutan, tetapi objek wisata ini tak pernah sepi
pengunjung. Setiap hari ada saja wisatawan yang berkunjung, umumnya
wisatawan domestik, baik dari Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Setiap
pengunjung dikenai tanda masuk Rp1.500/orang. Namun kerap kali
datang wisatawan berombongan. Umumnya kedatangan mereka berkaitan dengan
ritual. Contohnya rombongan wisatawan dari Bali, yang datang ke
Kayangan Api untuk melakukan ritual. Demikian juga pada malam-malam
keramat menurut kalender Jawa banyak orang yang melakukan ritual.

Lah,
lantas apa hubungannya Kayangan Api dengan ritual Jawa? Ini tidak
terlepas dari cerita rakyat yang berkembang. Diceritakan oleh Juli (50),
juru kunci, keberadaan Kayangan Api tidak dapat dipisahkan dengan
kehadiran Mpu Kriya Kusuma atau Mbah Supagati. Mbah Supagati ini pada
zamannya termasuk pande besi yang handal. “Waktu itu Sunan Ampel diutus
raja Majapahit untuk mencari pusaka di Desa Butha, Kecamatan Ngasem.
Sunan Ampel mengumpulkan semua tukang pande besi, tapi Mbah Supagati
tidak datang,” kata Juli.
Melihat Mbah Supagati tidak datang, Sunan Ampel segera menemui Mbah
Supagati di rumahnya di Dukuh Karang Juwet (sekarang Dukuh Karang
Pahing), Desa Sendangharja. Ketika Sunan Ampel datang Mbah Supagati
sedang membuat alat pertanian Dapur Sengkelat. Sunan Ampel memarahi Mbah
Supagati. Pada malam Jumat Pahing Mbah Supagati hijrah…
Penggalian Situs Kayangan Api, Diduga Pernah Berdiri Pura

Galian
arkeologi di komplek Kayangan Api menyita perhatian wisatawan. Bekas
galian ukuran 10 meter x 2,4 meter dan kedalaman 0,5 meter dan tumpukan
batu bata ukuran lebar di kanan-kirinya itu berada sekitar 20 meter
sebelah timur titik api abadi.
Syahdan, pada 2009 ada seorang warga setempat menemukan tumpukan batu
bata terpendam di tanah, sepanjang setengah meter, sekitar 10 meter
dari titik lokasi api abadi. “Karena temuan itu memiliki nilai sejarah,
sudah kami laporkan kepada BP3 Trowulan untuk diadakan penggalian
purbakala,” kata Kepala Bidang Pengembangan dan Pelestarian Budaya Dinas
Pariwisata Bojonegoro, Saptatila, sebagaimana dikutip Antara.

Pada
pertengahan Desember 2010, tim arkeolog Universitas Indonesia (UI),
melakukan penggalian. Sesuai penelitian yang dipimpin Dr. Ali Akbar,
arkeolog UI, kemungkinan tumpukan batu bata tersebut dulunya pura
berukuran 40 meter x 40 meter. Sedangkan kedalamannya antara 1
meter hingga 3 meter lebih. Pura tersebut berdiri antara tahun 1400
hingga tahun l500-an. Penelitian dan penggalian dilakukan selama dua
pekan di lokasi Kayangan Api Abadi, Desember 2010.
Kerangka bangunan berupa tumpukan batu bata merah ukuran besar ini
adalah candi diperkuat beberapa ciri-ciri. Di antaranya bentuk ukuran
batu bata, juga temuan pecahan gerabah.
0 comments:
Posting Komentar